Indonesia adalah negara kaya, punya banyak budaya dan dilimpahi sumber daya alam melimpah. Setiap wilayah memiliki ciri khas serta keunikan budaya masing-masing. Mulai dari makanan, minuman, arsitektur rumah hingga kain khas, setiap daerah punya ciri khas tersendiri. Salah satu dari kekayaan peninggalan sejarah Indonesia adalah Kain Lantung khas Bengkulu.
Kain Lantung adalah kain tradisional khas Bengkulu. Terbuat dari bahan dasari kulit kayu Pohon Terap/ Trap (Artocarpus elasticus). Kain ini dibuat dengan proses memukul kulit kayu basah dan bergetah secara terus menerus hingga lebar dan rata menggunakan alat bernama Perikai (Pemukul dari tanduk kerbau).
Penggunaan perikai dalam proses pembuatan Kain Lantung menghasilkan bebunyian "Tung, tung, tung". Melalui penuturan lisan turun-temurun di tengah masyarakat, bunyi "Tung,tung,tung" itu merupakan asal muasal nama kain tradisional khas Bengkulu ini.
Kendati telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kemendikbud RI sejak tahun 2015, masih banyak orang belum tahu tentang kain tradisional khas Bengkulu ini. Hal itu pula kemudian menjadi motivasi Alfira Oktaviani mengenalkan Kain Lantung kepada khalayak melalui inovasi ecoprint kain lantung melalui Semilir Ecoprint.
Sejarah Singkat Kain Lantung Bengkulu
Kain Lantung adalah kain tradisional dari wilayah Bengkulu, Indonesia. Dibuat dengan memanfaatkan kulit pohon yang dipukul menggunakan perikai berulang kali hingga melebar dan menipis hingga menjadi lembut dan rata.
Selama proses pembuatan Kain Lantung, nada berbunyi "Tung, tung, tung" kerap terdengar. Suara itu dihasilkan oleh Perikai berbahan dasar tanduk kerbau yang digunakan sebagai alat pemukul. Suara itu pun menjadi salah satu sumber nama kain tradisional khas Bengkulu.
Setelah rata dan halus, kain dari kulit kayu kemudian dijemur sembari dibersihkan dengan sapu lidi hingga kering. Setelah kering, Kain Lantung kemudian dapat dijahit menjadi pakaian, celana ataupun busana lainnya.
Diceritakan, masyarakat Bengkulu dan kain lantung memiliki sejarah panjang serta menjadi lambang perlawanan masyarakat terhadap penjajah.
Mengutip publikasi resmi kemendikbud, pengembangan produksi Kain Lantung pertama kali dilakukan sekitar tahun 1943 selama masa krisis ekonomi di bawah penjajahan Jepang.
Pada masa itu, di tengah krisis ekonomi akibat penjajahan Jepang, masyarakat sulit memperoleh kain drill dan tekstil lain untuk kebutuhan pakaian dan perlindungan selama proses perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Selama proses pembuatan Kain Lantung, nada berbunyi "Tung, tung, tung" kerap terdengar. Suara itu dihasilkan oleh Perikai berbahan dasar tanduk kerbau yang digunakan sebagai alat pemukul. Suara itu pun menjadi salah satu sumber nama kain tradisional khas Bengkulu.
Setelah rata dan halus, kain dari kulit kayu kemudian dijemur sembari dibersihkan dengan sapu lidi hingga kering. Setelah kering, Kain Lantung kemudian dapat dijahit menjadi pakaian, celana ataupun busana lainnya.
Kain Lantung, Bukti Sejarah Perjuangan Rakyat Bengkulu
Ibu-ibu di Desa Papahan, Kecamatan Kinal, Kaur, Bengkulu memukul kulit kayu terap untuk dijadikan Kain Lantung.(Foto: Instagram @semilir.ecoprint) |
Mengutip publikasi resmi kemendikbud, pengembangan produksi Kain Lantung pertama kali dilakukan sekitar tahun 1943 selama masa krisis ekonomi di bawah penjajahan Jepang.
Pada masa itu, di tengah krisis ekonomi akibat penjajahan Jepang, masyarakat sulit memperoleh kain drill dan tekstil lain untuk kebutuhan pakaian dan perlindungan selama proses perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kondisi itu kemudian mendorong masyarakat untuk mencari alternatif lain sebagai pengganti kain drill dan tekstil yang sulit diperoleh.
Pencarian alternatif pengganti kain drill bagi masyarakat itu kemudian mendorong pemanfaatan hasil alam seperti kulit pohon yang banyak tumbuh di wilayah Bengkulu.
Pencarian alternatif pengganti kain drill bagi masyarakat itu kemudian mendorong pemanfaatan hasil alam seperti kulit pohon yang banyak tumbuh di wilayah Bengkulu.
Awalnya, kulit kayu lantung hanya digunakan sebagai ikat kepala oleh masyarakat untuk mengikat hasil alam yang dibawa pulang dari hutan. Karena kelangkaan tekstil dan krisis ekonomi yang melanda, kain lantung kemudian diinovasikan sebagai pakaian, selimut dan sarung pada masa awal pengembangannya.
Kulit kayu dikumpulkan dari hutan-hutan sekitar, dipukul hingga lebar dan rata kemudian dikeringkan menjadi kain yang kemudian dijadikan berbagai kebutuhan masyarakat.
Kulit kayu dikumpulkan dari hutan-hutan sekitar, dipukul hingga lebar dan rata kemudian dikeringkan menjadi kain yang kemudian dijadikan berbagai kebutuhan masyarakat.
Semilir Ecoprint: Bentuk Konservasi Budaya dan Lingkungan
Alfira Oktaviani, penggagas Semilir Ecoprint membeberkan, alasan dibalik pemilihan Kain Lantung khas Belitung sebagai bahan dasar Ecoprint bukan sekedar hanya tentang pelestarian budaya kepada khalayak dan generasi muda. Namun, juga merupakan bentuk komitmen konservasi lingkungan dari Semilir Ecoprint.
Semilir Ecoprint merupakan sebuah bisnis yang digagas sejak tahun 2018 di Sleman, Wilayah Istimewa Yogyakarta. Semilir berfokus terhadap konservasi budaya melalui kegiatan eco printing berbasis lingkungan dan masyarakat.
Eco Printing adalah sebuah teknik cetak dengan pewarnaan kain alami yang cukup sederhana namun dapat menghasilkan motif yang unik dan otentik.
Prinsip pembuatannya adalah, melalui kontak langsung antara daun, bunga, batang atau bagian tubuh lain yang mengandung pigmen warna dengan media kain tertentu. Kegiatan itu dilakukan untuk menghasilkan corak eksotik dan meningkatkan harga jual kain tradisional.
Semilir sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jawa 'silir' yang berarti angin yang menyejukkan. Makna kata itu juga menjadi pandangan filosofis bagi Alfira dalam pengembangan produk dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan memberdayakan masyarakat.
"Misi kita bukan hanya pelestarian budaya, namun juga lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Kain Lantung ini kan terbuat dari pohon, jika dieksploitasi berlebihan maka akan habis pohon-pohon itu," jelasnya tentang ecoprint Kain Lantung melalui pesan singkat.
Alfira menjelaskan, jika upaya yang dilakukan hanya berupa pelestarian budaya tanpa mempertimbangkan keberlangsungan lingkungan, maka hal itu akan menjadi pisau bermata dua di waktu mendatang.
Kain Lantung: Mudah Dibentuk dan Tahan Lama
Kendati terbuat dari serat alami, Kain Lantung ternyata memiliki serat yang kokoh namun mudah dibentuk. Kekokohan dan kelenturan Kain Lantung berasal dari bahan dasarnya yang punya serat elastis dan kokoh. Selain itu, proses pembuatan Kain Lantung dengan cara dipukul berulang kali hingga rata dan halus membuat kepadatan dan kekokohan serat kain semakin kuat.
"Kain Lantung ini bisa dijadikan banyak bentuk. Bahannya juga kokoh dan tahan lama sehingga bisa diaplikasikan tidak hanya sebagai pakaian namun juga tas dan fesyen lainnya," jelas Alfira.
"Karena seratus persen alami, Kain Lantung juga mudah diwarnai dengan proses ecoprint. Menghasilkan motif unik, menarik dan khas sehingga punya daya jual tinggi," sambungnya.
Untuk menjaga daya jual serta melestarikan lingkungan, pembuatan kain lantung tidak dilakukan secara besar-besaran. Namun, dilakukan produksi terbatas dengan mengedepankan kualitas dan keunikan Kain Lantung itu sendiri.
"Maka memang kami buat se limited dan eksklusif mungkin sehingga kain lantung ini bisa terus eksis namun juga di saat yang bersamaan tidak terjadi eksploitasi lingkungan berlebihan," pungkas Alfira.
Langkah Kecil Hari ini untuk Masa Depan
Berkat konsistensi dan upaya berkelanjutan Alfira melestarikan budaya dan lingkungan melalui inovasi Ecoprint Kain Lantung khas Belitung. Alfira dengan Semilir Ecoprint miliknya berhasil memperoleh apresiasi dari Astra Indonesia dalam Satu Indonesia Award 2022 sebagai tokoh inspiratif bidang kewirausahaan.
Langkah kecil dan konsisten Alfira Oktaviani dan Semilir Ecoprint merupakan bukti nyata aksi kita hari dapat memberikan dampak signifikan bagi masyarakat, budaya dan lingkungan. Hari ini, dan akan datang. (*)
Sumber rujukan:
1) Idealisa Masyrafina. (2022, Desember 22). Semilir Promosikan Keberlanjutan Warisan Budaya Kain Lantung dari Pelosok Hutan. Republika Online. https://republika.co.id/share/rnalq72912) Kemendikbud RI. (2011, Januari 1). Warisan Budaya Takbenda | Beranda. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=1400
Sumber gambar:
1) Instragam @semilir.ecoprint
1) Instragam @semilir.ecoprint
2) Instagram @satu_indonesia
0 Komentar
Anda bebas berkomentar selama tidak mengandung unsur SARA dan PORNOGRAFI. Selamat berbagi pendapat dan berdiskusi di kolom komentar ini.
Orang baik berkomentar dengan baik.
Jadilah komentator yang baik.