Pengalaman adalah pengetahuan yang bersifat kumulatif. Hasil dari berbagai perjalanan hidup, pendidikan dan pekerjaan yang dialami oleh setiap orang. Pengalaman juga biasanya selaras dengan pertambahan usia. Semakin tua seseorang, semakin banyak pula pengalamannya.
Pengalaman juga kerap diidentikkan dengan kedewasaan. Semakin banyak pengalaman seseorang, semakin dewasa pula orang tersebut. Maka, tidak heran jika kegiatan ‘berbagi pengalaman’ adalah momen seru dan banyak ditemukan ketika berjumpa teman lama. Baik dalam bentuk obrolan maupun wejangan. Wejangan dari teman untuk teman, ataupun wejangan dari orang tua untuk anaknya.
Tentu, sebagai orang tua, memberikan nasihat kepada anak adalah hal lumrah dan hampir setiap hari dilakukan. Hal itu, tidak lain untuk membantu proses pertumbuhan anak dengan memberinya informasi berupa pengetahuan orang tua dalam bentuk pengalaman yang telah dilaluinya.
Kendati demikian, banyak orang tua yang menyampaikan nasihat dengan metode salah yang akhirnya menjurus kepada fenomena hindsight bias.
Kita pakai contoh agar lebih mudah dipahami. Sebut saja, seorang ibu tengah memarahi/ menasehati anaknya karena nilai pelajaran anjlok akibat terlalu banyak memainkan game. Kurang lebih, respon dan pernyataan si ibu akan berbunyi seperti ini
“Ibu sudah tahu akan jadi seperti ini sejak kamu main terus. Justru aneh jika nilaimu tidak turun dengan kondisi mental seperti itu,”
Niat baik si ibu untuk menasehati sang anak untuk mengurangi bermain game dan fokus kepada pelajaran untuk memperbaiki nilai memang bagus. Namun, jika menggunakan redaksi atau perkataan sebagaimana di atas, justru akan menjadi fenomena hindsight bias atau bias prediksi. Dan, itu sangat berbahaya, untuk hubungan orang tua dan anak, juga, untuk perkembangannya.
Apa itu Hindsight Bias?
Pertama, mari kita mulai dengan memahami makna hindsight bias. Kedepannya, kita akan menggunakan istilah bias prediksi untuk memudahkan pembahasannya.
Hindsight bias is a psychological phenomenon that allows people to convince themselves after an event that they accurately predicted it before it happened.
Bias prediksi adalah suatu kecenderungan untuk mempercayai bahwa diri sejak awal sudah mengetahui hasil dari sesuatu setelah mengetahui suatu hasil. Fenomena ini juga kerap dikenal sebagai “Efek Selama-ini-aku-sudah-tahu (Knew-it-all-along effect)”
Psikolog Amerika, Baruch Fischoff adalah orang pertama yang memperhatikan fenomena bias prediksi ini. Di tahun 1972, Fischoff dan rekannya Beyth melakukan sebuah eksperimen untuk memahami fenomena bias prediksi. Dari eksperimen itu, ditemukan bahwa orang-orang cenderung berpikir bahwa mereka “sudah menduga” hasil dari pertanyaan yang diajukan selama eksperimen berlangsung. Padahal, mereka tidak memprediksi seperti itu.
Lalu, kenapa bias prediksi ini dapat menjadi sesuatu yang berbahaya? Karena, jika dibiarkan (Bias Prediksi) akan membuat kita bersikap arogan dan seolah tahu segalanya. Padahal, kita tidak benar-benar tahu akan hal tersebut.
Bias Prediksi dalam Parenting: Dosa Besar Komunikasi Orang Tua kepada Anak
Dalam parenting, bias prediksi banyak ditemukan ketika anak melakukan suatu hal mengecewakan atau ngeyel ketika dibilangin. Hal itu tidak lepas dari kenyataan bahwa orang tua memiliki lebih banyak pengalaman daripada anak. Banyak orang tua menunjukkan sikap tahu segalanya karena mereka adalah anaknya sendiri.
Sebut saja anak yang suka bermain game hingga nilai pelajarannya anjlok, tidur terlalu malam hingga keesokan harinya mengantuk di sekolah, main di luar sampai larut kemudian sakit dan berbagai contoh lainnya. Biar prediksi hampir pasti ditemukan dan kemungkinan besar diucapkan oleh orang tua kepada anaknya.Seolah, orang tua telah tau apa yang akan terjadi dan menimpa anaknya.
Memang, niatnya baik, hendak memberikan masukan dan nasihat kepada anak. Namun, niat kita yang awalnya baik bisa saja diterima sebagai sebuah penilaian atau judgement oleh anak karena bias prediksi tersebut. Dampaknya, komunikasi dengan anak dan orang tua bisa saja terputus
Bukan berarti orang tua tidak boleh memarahi anaknya. Kemarahan orang tua adalah bagian dari kasih sayang kepada anaknya. Saya percaya dan meyakini hal tersebut. Malahan, Saya merasa sedih jika orang tua tidak memarahi Saya ketika melakukan kesalahan. Namun, tidak semua anak dapat menerima saran dalam bentuk mentahnya.
Lalu? Bagaimana bentuk komunikasi yang baik untuk menghindari fenomena bias prediksi dalam parenting?
Daripada memberikan cap kepada anak ketika melakukan kesalahan ataupun mengecewakan, alangkah baiknya sebagai orang tua memberikan masukan dalam bentuk yang matang sehingga dapat diterima dengan baik oleh anak. Bukan langsung mengecap dan memprediksi tingkah laku anak ketika mereka melakukan kesalahan.
Nah, bagaimana caranya? Tentu, pertama kita harus mulai dengan membiasakan diri. Biasakan diri untuk mengolah terlebih dahulu kondisi dan faktor-faktor yang terjadi. Jangan langsung menghakimi, tapi, pahami dan cermati terlebih dahulu kondisinya. Setelah itu, orang tua dapat memberikan masukan dan saran.
Lalu? Orang tua gaboleh marah? Nggak juga, marah bukan selalu tentang mengomeli dan menggurui, terdapat banyak cara untuk mengungkapkan kemarahan kita. Berikut, beberapa contoh ungkapan yang dapat digunakan oleh orang tua kepada anaknya.
- Kali ini nilaimu sedikit turun. Menurut kamu apa penyebabnya? Ayo kita sama-sama pikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
- Kamu salah. Tapi jadikan ini pelajaran dan lain kali kerjakan dengan lebih teliti dan hati-hati lagi.
Sekarang udah tau kan apa itu bias prediksi dan bahayanya untuk hubungan komunikasi orang tua dan anak. Semoga tulisan ini bermanfaat dan selamat mempraktikkan komunikasi yang lebih baik. Salam hangat.
Sumber Rujukan:
Oh Su Hyang. Komunikasi Itu ada Seninya. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2021.
8 Komentar
Jadi inget zaman kecil dulu, ortu sering begini 😅. Efeknya, hubungan ku dengan ortu JD ga terlalu dekat. Kami lebih nyaman kalo saling jauhan
BalasHapusItu yg aku ga mau lakuin ke anakku mas. Belajar dr pengalaman, anak2' pasti ga suka di judge seperti itu. Apalagi zaman skr. Jadi memang lebih ampuh kalo mau memarahi mereka tapi bukan dengan bias prediksi tadi.
Anakku lbh bisa trima kalo aku ngomongnya baik2 atau bahkan lewat cerita. Mereka jadi paham kenapa ga bisa melakukan hal yg dilarang.
Iyanih Mbak Fanny, salah satu alasanku nulis juga karena pengalaman masa kecilku. Eh, kebetulan ketika lagi baca beberapa buku nemu topik yang relate dan kunilai perlu banget untuk disebarkan sebagai bahan informasi untuk semuanya. Baik yang udah jadi orang tua ataupun parent to be.
HapusHmmmm belajar ilmu parenting emang penting banget di masa sekarang
BalasHapusBener mas, belajar sejak dini. Nanti tinggal mempraktikkan dalam keluarga kecil masing-masing.
HapusMakasih sharingnya, tantangan banget komunikasi ke anak2 jaman sekarang ya tidak bisa seperti ortu kita dulu. Aku sih lebih suka dengan cerita
BalasHapusSama-sama Mbak Tira, komunikasi dengan anak masa kini dan masa lalu bener-bener mengalami perubahan dan punya tantangannya tersendiri. Hindsight bias ini merupakan salah satunya.
HapusBerkomunikasi dengan anak itu idelanya seperti orang tua dan anak sedang mengobrol. Tentu saja waktunya harus tepat. Saat makan bersama, relaksasi di pantai dll. Jangan anak baru pulang sekolah sudah ditanya tadi ulangan dapat nilai berapa dll wuih bisa stres anaknya. Orang tuanya kudu belajar nih ilmu parenting.
BalasHapusAlhamdulillah, kita hidup di zaman teknologi komunikasi yang sudah berkembang begitu pesat. Belajar juga semakin mudah cukup dengan mencari materi dan memahaminya dengan seksama.
HapusAnda bebas berkomentar selama tidak mengandung unsur SARA dan PORNOGRAFI. Selamat berbagi pendapat dan berdiskusi di kolom komentar ini.
Orang baik berkomentar dengan baik.
Jadilah komentator yang baik.