Menjadi blogger sekaligus influencer, kita pasti tidak asing dengan permintaan rekomendasi dari teman, pembaca maupun pengikut kita. Baik itu rekomendasi produk maupun jasa. Begitu pula dengan kita, sebagai influencer, kita juga kerap meminta rekomendasi kepada teman atas sebuah jasa maupun produk sebelum memutuskan untuk membelinya.
Rekomendasi masih menjadi alasan kuat orang-orang membeli produk atau jasa. Dengan adanya rekomendasi, kita merasa lebih tenang dan percaya terhadap produk atau jasa yang akan dibeli.
Kenapa Kita Meminta Rekomendasi Sebelum Membeli Sesuatu?
Terdapat beberapa alasan kenapa kita cenderung meminta rekomendasi sebelum membeli sebuah produk ataupun jasa, berikut diantaranya:
- Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Ketika kita hanya membaca informasi tentang suatu produk atau jasa dari satu sumber, kita mungkin hanya mendapatkan informasi yang bersifat umum atau promosi. Dengan meminta rekomendasi dari orang lain, kita bisa mendapatkan informasi yang lebih lengkap, termasuk pengalaman dan pendapat mereka yang telah menggunakan produk atau jasa tersebut.
- Untuk mengurangi risiko. Membeli sesuatu yang baru selalu ada resiko, baik risiko mendapatkan produk yang tidak sesuai dengan harapan kita, risiko produk tidak berkualitas, atau risiko produk tidak berfungsi dengan baik. Dengan meminta rekomendasi, kita bisa mengurangi risiko tersebut karena kita bisa mendapatkan informasi dari orang yang sudah berpengalaman menggunakan produk atau jasa tersebut.
- Untuk mendapatkan perspektif yang berbeda. Ketika kita hanya mengandalkan informasi dari diri kita sendiri, kita mungkin hanya melihat suatu produk atau jasa dari satu sudut pandang. Dengan meminta rekomendasi, kita bisa mendapatkan perspektif yang berbeda dari orang lain, yang bisa membantu kita untuk membuat keputusan yang lebih tepat.
Fenomena minta rekomendasi ini biasa disebut sebagai Bandwagon Effect atau efek ikut-ikutan. Yuk ngobrol bareng-bareng soal fenomena komunikasi satu ini.
Apa itu Bandwagon Effect?
The term “bandwagon effect” denotes a phenomenon of public opinion impinging upon itself: In their political preferences and positions people tend to join what they perceive to be existing or expected majorities or dominant positions in society. (Schmitt-Beck, 2015)
Bandwagon effect atau dikenal sebagai efek ikut-ikutan, adalah fenomena psikologis di mana seseorang cenderung mengikuti tren, gaya, sikap, dan lainnya karena melihat banyak orang turut melakukan hal yang sama. Singkatnya, orang terpengaruh untuk ikut naik "Bandwagon" yang sama karena melihat banyak orang berada di dalamnya.
Nama Bandwagon sendiri berasal sebutan untuk kereta musik yang ditarik dengan kuda pada abad pertengahan. Ketika tengah menampilkan musik, Bandwagon biasa diikuti oleh banyak orang yang hendak menikmati penampilan musik mereka. Bandwagon effect sendiri adalah metamorfosa dari budaya tersebut.
Terdapat beberapa faktor yang bisa memicu terjadinya fenomena bandwagon effect:
- Keinginan untuk diterima: Kita kerap memiliki keinginan untuk diterima oleh lingkungan sosial kita, dan mengikuti tren yang dilakukan banyak orang bisa menjadi salah satu cara untuk mencapai hal tersebut.
- Tekanan sosial: Melihat banyak orang melakukan sesuatu bisa menciptakan tekanan sosial bagi kita untuk ikut melakukannya juga, meskipun sebenarnya kita tidak terlalu tertarik.
- Heuristik ketersediaan: Heuristik ini adalah kecenderungan kita untuk menilai sesuatu sebagai benar atau baik hanya karena kita sering melihatnya atau mendengarnya. Artinya, karena suatu tren diikuti banyak orang, kita menganggapnya sebagai sesuatu yang bagus dan layak diikuti.
- Ketiadaan informasi: Ketika kita tidak memiliki cukup informasi tentang suatu produk, jasa, atau tren, kita cenderung mengandalkan informasi dari orang lain. Jika banyak orang mengikuti tren tersebut, kita mungkin berasumsi bahwa tren itu pasti bagus dan layak diikuti.
Bandwagon Effect dan FOMO itu Berbeda
Kita pasti tidak asing dengan istilah FOMO atau Fear of Missing Out. Kecenderungan takut ketinggalan tren ataupun hype yang tengah populer di masyarakat.
FOMO juga merupakan fenomena komunikasi yang berkaitan erat dengan perilaku manusia. Khususnya tentang “ikut-ikutan".
Bandwagon effect dan FOMO adalah dua fenomena psikologis yang berkaitan. Keduanya berkaitan dengan perilaku ikut-ikutan. Kendati berkaitan, Bandwagon Effect dan FOMO sebenarnya punya perbedaan penting, lho.
Sebelum itu, mari pahami kembali definisi keduanya.
Bandwagon effect adalah kecenderungan seseorang untuk mengikuti suatu tren, gaya, sikap, atau lainnya hanya karena melihat banyak orang turut melakukan hal yang sama. Singkatnya, orang terpengaruh untuk ikut "naik kereta musik" karena melihat banyak orang berada di dalamnya.
FOMO atau fear of missing out, adalah perasaan khawatir atau cemas karena takut ketinggalan tren atau pengalaman yang sedang populer. Orang yang mengalami FOMO mungkin merasa terdorong untuk mengikuti tren atau pengalaman tersebut agar tidak merasa terisolasi atau ketinggalan.
Sederhananya, perbedaan mendasar dari Bandwagon Effect dan FOMO adalah dampaknya. Bandwagon effect dapat memberikan efek positif karena salah satu penyebabnya berupa ketiadaan informasi. Sehingga, dengan mengikuti mayoritas, kita berharap memilih jawaban yang benar.
Sementara FOMO berasal dari keinginan untuk tidak ketinggalan dan merasa terisolasi. Hal itu mendorong dampak yang kebanyakan bersifat negatif.
Bandwagon Effect: Fenomena Komunikasi yang Diincar Banyak Brand
Seperti yang telah saya sebutkan di awal, Bandwagon effect adalah adalah fenomena komunikasi yang banyak diincar oleh Brand. Kok bisa? Contoh dan bukti paling sederhana adalah program referral.
Tentu istilah referral tidaklah asing, apalagi dapat kita temukan dengan mudah. Kata tersebut merujuk kepada program yang memberikan kita benefit sebagai kompensasi atas upaya kita mengundang/mengajak orang menggunakan jasa ataupun membeli produk dari brand tertentu.
Prinsip dasar dari program referral adalah Bandwagon Effect. Membuat orang ikut-ikutan membeli atau memakai produk maupun layanan dari brand karena orang disekitar juga menggunakannya.
Ada beberapa alasan kenapa brand mengincar bandwagon effect untuk produk dan layanannya. Berikut diantaranya:
- Untuk meningkatkan brand awareness: Ketika banyak orang melihat suatu produk atau merek, hal ini akan meningkatkan brand awareness atau kesadaran merek brand tersebut. Hal ini penting bagi brand untuk membuat layanan dan produknya lebih mudah dikenal dan diingat oleh konsumen.
- Untuk meningkatkan penjualan: Bandwagon effect bisa mendorong konsumen untuk membeli suatu produk atau merek hanya karena melihat banyak orang lain membelinya. Hal ini bisa meningkatkan penjualan produk atau merek tersebut.
- Untuk membangun brand image: Bandwagon effect bisa membantu membangun brand image atau citra merek yang positif. Ketika banyak orang melihat suatu produk atau merek sebagai produk atau merek yang populer dan diminati, hal ini akan membuat citra merek tersebut menjadi lebih positif.
Mari berdiskusi bersama, bayangkan diri kalian adalah seorang pemilik bisnis. Kalian dihadapkan dengan dua pilihan pemasaran. Opsi 1: Produk yang telah teruji dan memiliki penjualan yang solid. Opsi 2: Produk baru, yang beberapa orang percayai akan menjadi tren besar berikutnya. Manakah yang akan kalian pilih?
Seorang pebisnis ulung tentu akan mencoba keduanya. Namun, dalam konteks Bandwagon effect, opsi pertama akan memberikan hasil yang lebih baik karena orang-orang cenderung suka dengan produk yang telah terbukti dan terbaik.
Ada sebuah cerita menarik tentang Bandwagon effect dari salah satu Klub basket besar Amerika, Miami Heat.
Pada musim bola basket 2010, Miami Heat memiliki rata-rata 17.730 penggemar di setiap pertandingan kandang. Musim berikutnya, Miami mendapatkan LeBron James. Sejak kedatangannya, James membawa Miami ke empat final NBA dan memenangkan dua di antaranya.
Dalam empat musim itu, rata-rata kehadiran Miami adalah 19.869 penggemar. Dengan harga tiket rata-rata $155, Miami mendapatkan $331.545 dari penjualan tiket. Bukti nyata dari fenomena Bandwagon Effect.
Menerapkan Bandwagon Effect di Bisnis Kita Sendiri
Saya punya pengalaman seru tentang bandwagon effect ini. Sekitar awal tahun 2019, saya dan kawan pernah membuka usaha jasa foto prewedding. Berbekal alat seadanya dan koneksi yang kami miliki, Alhamdulillah usaha kecil itu berjalan dengan baik.
Saya mencoba menerapkan bandwagon effect dengan meminta teman-teman yang punya banyak follower di sosial media untuk membagikan postingan promosi usaha kecil itu. Dampaknya cukup luar biasa, selang satu minggu sejak portofolio pertama kami tayangkan, dua permintaan jasa prewed sudah kami kantongi.
“Mas, ini jasa prewed yang diposting sama Mas (nama samaran) itu, ya” begitulah contoh mayoritas pertanyaan client kami waktu itu.
Meski berjalan mulus dan berhasil memperoleh banyak client, usaha kecil itu terpaksa ditutup karena pandemi covid-19.
Penutup
Bandwagon effect adalah fenomena komunikasi yang berbentuk kecenderungan seseorang untuk mengikuti suatu tren, gaya, sikap, atau lainnya hanya karena melihat banyak orang turut melakukan hal yang sama. Fenomena ini banyak digunakan oleh brand untuk meningkatkan brand awareness mereka.
Sebagai influencer dan pengguna, kita juga dapat memanfaatkan fenomena bandwagon effect ini untuk mendapatkan keuntungan, salah satunya melalui program referral yang bisa memberikan kita cuan yang lumayan.
Salam Hangat.
_______________
Sumber rujukan:
Schmitt-Beck, R. (2015). Bandwagon Effect. The International Encyclopedia of Political Communication, 1–5. https://doi.org/10.1002/9781118541555.wbiepc015
Sumber gambar:
Ilustrasi Miami Heat oleh Stefan Milic/Yahoo Sports
4 Komentar
Berarti FOMO itu lebih mengerikan dibanding dengan Bandwagon Effect ya? Kalau ikut-ikutan tren dan apapun itu tanpa ada kecemasan psikologis ya wajar aja pada umumnya. Lain halnya jika ketakutan tertinggal dengan orang lain sampai bikin diri sendiri berubah kepribadian :D
BalasHapusFOMO dan Bandwagon effect dasarnya sama-sama tentang ikut-ikutan. Namun, FOMO lebih cenderung berimplikasi negatif daripada Bandwagon Effect.
HapusTak masalah beli sesuatu ikut trend. Asalkan terjangkau oleh kantong. Yang kurang baik tuh, tak punya duit, tapi memaksa diri untuk bersaing, sampai berimplikasi negatif pada hal2 lain.
BalasHapusSetuju. Tidak apa kita ikut-ikutan, selama kita paham dan mengerti apa yang kita ikuti. Kalau ikut-ikutan saja tanpa tau konsekuensinya, berbahaya dong.
HapusAnda bebas berkomentar selama tidak mengandung unsur SARA dan PORNOGRAFI. Selamat berbagi pendapat dan berdiskusi di kolom komentar ini.
Orang baik berkomentar dengan baik.
Jadilah komentator yang baik.