Membedah Makna Kata “Si paling” dan Fenomena Komunikasi Dibaliknya

Kata Si Paling dan efek terlalu percaya diri

Warganet Indonesia tentu tidak asing dengan kata “Si paling”. Kata yang awalnya dimaksudkan sebagai bentuk sarkas di sosial media. Ungkapan si paling mudah ditemukan baik di kolom komentar ataupun postingan warganet.

Kata si paling awal mulanya muncul sebagai kata untuk mendeskripsikan kalimat sarkas atau sebagai bahan ejekan. Contohnya, ketika seseorang membuat cuitan di Twitter, “Apa cuma aku yang ga suka kpop?” atau “Apa cuma aku yang lebih suka nonton anime daripada nonton drama korea?”

Balasan seperti “Iya deh, si paling ga suka kpop,” atau “iya tau si paling wibu,” akan mudah ditemukan di kolom komentar. Kata-kata itu bisa dipahami sebagai ungkapan “ Iya tau kamu yang paling indonesia makanya ga suka kpop,” atau “Iya deh anime lebih banyak peminatnya dari pada drakor,” kalimat yang menjadi sarkas atau mengiyakan dengan cara mengejek.

Tapi, dibalik kata “Si paling” ternyata ada beberapa fenomena komunikasi yang terjadi, lho. Salah satunya adalah Overconfidence Effect atau efek terlalu percaya diri.

Overconfidence Effect dan Kata Si Paling


Kita tentu familiar dengan kata seperti ini "Kalau soal itu, serahkan saja padaku. Aku jagonya." Tidak hanya familiar kita mungkin pernah melontarkan atau juga sering mendengarnya. Manusia memang memiliki kecenderungan untuk mengemas diri mereka dengan lebih tinggi daripada yang sebenarnya.

Pencari pekerjaan yang lolos dengan bantuan orang dalam (ordal) akan mengaku bahwa ia lolos karena nilainya tinggi. Suami yang mengajari istrinya mengemudi akan membual bahwa dirinya adalah pengemudi terbaik dan terhebat di dunia. Apakah hanya itu? Tidakkah semua orang tua mengatakan bahwa mereka dulu juara di sekolah untuk memotivasi buah hatinya?

Lantas Apakah mereka berbohong? Bukan. Apakah mereka tidak rendah hati? Bukan juga. Meskipun kadarnya berbeda-beda, setiap orang memiliki tabiat untuk menilai dirinya sendiri dengan lebih tinggi.

Kita juga mungkin menemui orang yang sepintas terlihat benar atau pintar tapi sebenarnya tidak. Kita tidak perlu mempermasalahkan ungkapannya yang berlebih-lebih sebagai sebuah masalah yang serius atau bahkan repot-repot memeriksa fakta kebenarannya. Kenapa?

Kecenderungan untuk melebih-lebihkan kemampuan diri di atas rata-rata atau disebut efek Danau Wobegon pertama kali ditemukan pada tahun 1970-an. 

Penulis Amerika, Garrison Keillor, menyampaikan sebuah berita tentang Desa fiktif bernama “Danau Wobegon”. Dalam siaran radio itu Keillor menjelaskan bahwa penduduk desa disebut-sebut lebih kuat dari rata-rata, tampan, pintar, dan sangat optimistis.

Di kemudian hari, psikolog Thomas Gilovich menemukan bahwa, kecenderungan terlalu percaya diri adalah fenomena komunikasi psikologis universal manusia yang merujuk pada efek Danau Wobegon sebagai kecenderungan untuk menganggap diri di atas rata-rata.

Thomas pada tahun 1977 kemudian melakukan survei terhadap siswa di sebuah SMA di Amerika Serikat. Hasilnya, 70 persen siswa mengatakan kepemimpinan mereka di atas rata-rata dan 100 persen siswa mengatakan afinitas mereka di atas rata-rata

Sementara itu sebuah studi oleh Daniel kahman terhadap pelaku UKM di Amerika Serikat menunjukkan hasil yang serupa. Ia mengajukan pertanyaan seperti ini kepada para peserta “Menurut anda berapa persentase perusahaan anda akan berhasil?”

Sebanyak 81 persen pemilik UKM menjawab mereka memiliki peluang sukses lebih dari 70 persen dan sebagian lagi mengatakan peluang mereka untuk gagal adalah 0 persen.

Namun, kenyataannya sangatlah berbeda. Rasio UKM Amerika berumur 5 tahun hanyalah 35 persen. Artinya, dari 100 UKM, hanya 35 saja yang dapat bertahan hingga 5 tahun. Jika demikian, kebanyakan dari pemilik UKM tidak bisa mengakui kenyataan ini dan terlalu yakin akan keberhasilan mereka. Artinya, kecenderungan untuk terlalu yakin ini adalah fenomena yang bersifat universal atau umum.

Oleh karena itu, kecuali kebohongan atau melebih-lebihkan itu sudah tidak wajar, berlebihan atau bahkan menyakiti orang, cobalah untuk memaklumi bualan orang yang dekat dengan Kita.

Ingat kembali, tidak pernah kah kita satu kali saja sedikit membual di depan orang lain? Tentu kita pasti pernah melakukannya sedikit atau banyak. Terkadang, hal itu membantu kita untuk hidup dengan teguh tanpa kehilangan kepercayaan diri.

Begitu juga dengan kata “si paling” yang banyak kita temukan di sosial media itu, nyatanya hanyalah bagian dari teknik komunikasi dan bukanlah sesuatu yang luar biasa. Terkadang kita hanya perlu tertawa, menerima, dan memperhatikan lawan bicara seperti biasa. Begitu juga dengan penggunaan kata “Si paling”. (*)

_______________

Sumber foto: 
Volodymyr Hryshchenko/Unsplash
Jakob Owens/Unsplash


2 Komentar

  1. Aku pun ga pernah anggab serius kalo denger kata2 si paling atau teman /saudara yg membanggakan diri nya. Mungkin bisa jadi mereka menyombong. Tapi ada kalanya kita yg harus bisa memilah apakah itu suatu kesombongan, atau hanya sekedar perkataan yg bisa memupul rasa PD si teman tadi. Krn kalo ternyata yg kedua, sebisa mungkin aku hrs bisa bantu memupuk keyakinannya, bahwa dia pasti bisa.

    Ga usah diambil terlalu serius memang perkataan yg kesannya menyombong atau merasa paling-paling 😆. Malah kitanya yg overthinking ntr 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget. Kadang kita tanpa sadar melebih-lebihkan tidak lain untuk membuat diri sendiri percaya diri atas kemampuan kita. Jadi, dibawa santai saja.

      Hapus

Anda bebas berkomentar selama tidak mengandung unsur SARA dan PORNOGRAFI. Selamat berbagi pendapat dan berdiskusi di kolom komentar ini.

Orang baik berkomentar dengan baik.
Jadilah komentator yang baik.