Menjaga Komunikasi dengan Pasangan Bukan Hanya Soal Love Language, tapi juga Soal Stress Languagenya!

Stress Language

Love Language adalah istilah yang mungkin kebanyakan dari kita sudah paham dan ketahui. Istilah ini merujuk kepada teori mengenai bahasa cinta yang membantu orang-orang dalam suatu hubungan memahami kebutuhan dan perbedaan satu sama lain. Terdapat 5 macam love language yang umum diketahui, word of affirmation, physical touch, receiving gifts, act of service, dan quality time.

Katanya, dengan memahami dan mengetahui love language masing-masing pasangan, kita dapat menjaga komunikasi dan keharmonisan, lho.

Tapi, selain love language, terdapat juga istilah lain bernama stress language. stress language adalah cara seseorang merespons/mengekspresikan stres. Bahasa tiap orang berbeda-beda satu sama lainnya.

Nah, kurang memahami stress language mungkin adalah alasan kenapa kamu masih suka salah paham dengan pasangan meski sudah memahami love language satu sama lain. Yuk, bahas lebih lanjut.

Stress Language: Settingan Default Kita Menghadapi Sebuah Masalah


Konsep stress language diungkapkan oleh pakar kesehatan Chantal Donnelly. Menurutnya, stress language menjadi cara untuk mengeksplorasi perilaku pasangan saat sedang kesulitan atau kewalahan.

Dengan memahami stress language, kamu bisa mengontrol emosi dan responmu dengan baik ketika menghadapi suatu masalah. Memahami stress language juga dapat menciptakan ketentraman diri sendiri maupun saat berhubungan dengan orang lain.

Macam-macam Stress Language


Chantal Donnelly menjabarkan stress language ke dalam 5 macam bentuk. Hal itu senada dengan love language yang juga terdiri dari 5 macam jenisnya. Berikut penjelasannya:

The Exploder (Peledak)


Seorang the exploder cenderung akan meledak-ledak ketika sedang menghadapi stress. Ia akan marah, bahkan sampai menuding orang lain atas kesulitan yang sedang dihadapinya.

Stress language ini biasa disebut sebagai respons fight-or-flight (melawan atau lari). Apapun situasinya, the exploder merespons masalah sebagai sebuah krisis. Ia akan marah, paranoid, dan memiliki keinginan untuk menyerang di tengah-tengah percakapan.

The Imploder (Pengebom)


The imploder akan mengalami kesulitan untuk berkontak mata dengan orang lain, termasuk mengekspresikan emosinya. Ia cenderung akan memendam stressnya sendiri dan bersembunyi dari orang lain. Perilaku the imploder sering disalah artikan sebagai bentuk pengabaian akan masalah.

The Fixer (Pemecah Masalah)


The fixer memang terdengar dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Namun, pada suatu waktu, the fixer akan mengomel, melampaui batas, dan tidak percaya akan kemampuan seseorang.

Ia akan segera bertindak dan memperbaiki sesuatu, bahkan di saat tidak ada yang perlu diperbaiki sekalipun. Ia lebih banyak bertindak seperti orang tua dibanding pasangan atau orang yang setara.

The Denier (Penyangkal)


The denier akan menganggap bahwa stress adalah kelemahan. Ia bisa terlihat sebagai orang yang optimis, tetapi buta akan kenyataan bahwa stress adalah sesuatu yang wajar.

Biasanya, the denier akan mengatakan “Saya akan baik-baik saja, tidak apa-apa”. Perasaan stress yang dialami akan dipendam. Hingga suatu saat nanti, ia tidak mampu menahan itu, maka ia akan menjadi orang yang meledak-ledak.

The Numb-er (Mati Rasa)


The numb-er akan menjadikan pelarian sebagai strategi menanggulangi stress. Entah itu mengonsumsi alkohol, obat-obatan, game online, belanja, judi, dan lain sebagainya. The numb-er cenderung akan melakukan sesuatu yang tampak berlebihan dan tidak sehat.

Itu tadi lima bentuk stress language manusia. Apakah kamu telah mengidentifikasi mana yang menjadi stress language-mu?

0 Komentar

Anda bebas berkomentar selama tidak mengandung unsur SARA dan PORNOGRAFI. Selamat berbagi pendapat dan berdiskusi di kolom komentar ini.

Orang baik berkomentar dengan baik.
Jadilah komentator yang baik.